Senin, 04 Juni 2007

Love Messages #1

Oleh De Zha Voe

2 3 4 5 6 7 8 9 10



Bruk!
Ups! Argi meringis. Dia tidak sengaja menabrak... Delon! Bukan ding... hanya mirip saja dengan runner up Indonesian Idol pertama itu. Sampai-sampai ia menumpahkan air mineral merek Aquya ke baju cowok tinggi berkulit putih itu
“S-sori... sori?”        
Cowok itu mengibas-ngibas pakaiannya yang basah.
Uh, ganteng banget! Sesaat Argi terpaku, memandangi paras tampan di depannya, sebelum dia tersadar dan mengeluarkan handuk kecil dari dalam tasnya. “Gue elapin ya?”
“Udah gak pa-pa kok,” cowok itu tersenyum.
“Duh, gue jadi gak enak nih...”
“Kalo gak enak kasih kucing aja,” seloroh cowok yang bagai pinang dibelah kampak dengan artis pujaan yang namanya dia abadikan untuk ayam jago piaraannya itu.
Argi tertawa mendengar perkataan Delon... eh, maksudnya cowok yang ditabraknya itu.
“Eh, elo liat Arga gak?”
“Arga? Makhluk dari mana, tuh?”
“Haha... lo bisa aja. Yang dari majalah SUKA.”
“Yang rambutnya gondrong itu, ya?”
“Iya, betul. Pokoknya yang ancur banget deh orangnya!”
Cowok itu tersenyum. “Tadi gue liat dia di dekat panggung utama.”
“Oh, makasih, ya!” ucap Argi.
“Kalo elo perlu apa-apa ngomong sama panitia aja, ya.”
“Elo...”
“Gue Dava,” katanya memperkenalkan diri, “ketua OSIS SMU Cakra.”
“Oke deh, Dav! Gue Argi. Argi Dahlia lengkapnya.”
Lagi-lagi cowok berparas serupa Delon itu melempar senyum ke arah Argi, sebelum ia melangkah meninggalkannya sendiri dalam keterpakuan.
Duh, senyumnya... bisik hati Argi. Terpesona. Sebelum kembali celingukan mencari-cari Arga. Ke mana sih anak gokil itu?
***
“Argi sialaaaaaaan...!!!”  jerit Arga begitu membuka mata dan menemukan jarum jam telah menyentuh angka 7:15 WIB. Perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu setidaknya setengah jam. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Terlambat!
Hari ini ada ulangan fisika. Semalaman Arga menekuni rumus-rumus dalam buku pelajaran. Sudah dua kali dia dapat lima. Sampai azan Subuh menggema, Arga baru merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya yang letih. Lumayan, biar cuma satu jam...
Di dalam kelasnya, Argi tersenyum-senyum sendiri membayangkan saudara kembarnya yang ketika dia meninggalkan rumah tadi belum juga membuka matanya. Sebelum Arga tidur, sebenarnya dia sempat mengirimkan pesan ke ponsel Argi, karena pintu kamar anak itu sudah dikunci, waktu dia mau minta dibangunkan. Makanya dia mengirimkan SMS kepada Argi meski kamar mereka bersebelahan. Begini bunyi SMS yang Arga kirimkan sebelum matanya terpejam Subuh tadi:

TLG BANGUNIN GW 1/2 6 TEPAT! :-)
Sent to: Argi 081802901697

Dan cara itu pula yang dipakai oleh Argi untuk membangunkan Arga, sebelum dia pergi meninggalkan rumah pagi tadi. Ia me-reply SMS Arga.

ARGA BANGUN! UDH 1/2 6 LWT DIKIT! ;-p
Sent to: Arga 081802901679

Padahal pintu kamar Arga gak terkunci!
Suara bel berbunyi. Pak Saragih masuk ke dalam kelas membagi-bagikan kertas ulangan fisika.
Wajah Arga menyembul dari balik pintu. Napasnya tersengal, seperti habis maraton 10 km. Argi cekikikan melihat tampang kucel saudara kembarnya.
“Permisi, Pak...”
“Silakan masuk!” Suara Pak Saragi serak-serak becek.
Arga melongo. Tumben amat, pikirnya. Biasanya Pak Saragih akan mengatakan, “Silakan keluar!” kepada siapa pun siswa yang datang terlambat saat jam pelajarannya. Gak peduli walau keterlambatannya hanya terjadi 1 menit saja sebelum guru killer itu masuk ke kelas.
“Makasih, Pak.” Arga mengumbar senyum. Sok ramah. Melangkahkan kaki ke kursinya di sebelah Argi.
“Bah,” ucap Pak Saragih, “siapa pula yang suruh kau duduk?!”
“Lho,” Arga bingung, “bukannya tadi Bapak bilang...”
“Aku bilang masuk, bukan duduk! Kuping kau perlu dikorek sama pacul, rupanya!”
Kelas bergemuruh tawa.
“Diam!” bentak lelaki kelahiran Medan itu. Kelas kembali hening.
Tinggal Arga yang berdiri dengan lutut gemetar.
“Kemari kau!”
Arga menyeret langkah, datang mendekat pada Pak Saragih.
“Kenapa kau datang terlambat?”
“A-anu... pak...”
“Macet?” serobot Pak Saragih sebelum Arga sempat menyelesaikan kalimatnya, “Bah! Tiap hari kota Depok selalu macet!”
“Lho, saya kan gak bilang macet, Pak?”
“Kalau bukan macet, apalagi alasan kau?”
“Semalam saya belajar sampai Subuh untuk menghadapi ulangan fisika ini. Jadi... saya bangun kesiangan gara-gara Argi gak mau bangunin saya, Pak.”
“Enak aja!” protes Argi dari bangkunya, “gue kan udh kirim SMS buat ngebangunin elo! Elo juga minta banguninnya lewat SMS.”
“Soalnya waktu gue mau nitip pesen langsung, pintu kamar lo dikunci. Lha, kalo pintu kamar gue kan ngablak, kagak dikunci! Kenapa juga elo bangunin gue lewat SMS?!”
“Kok elo nyalahin gue? Yang suruh elo begadang sampe Subuh siapa?”
“Diaaaammmm! Siapa suruh kalian bertengkar?!”
Kedua saudara kembar itu bungkam.
Argi kembali menekuni kertas ulangannya.
“Ya, sudah,” kata Pak Saragih kemudian, “ini,” menyerahkan kertas soal kepada Arga.
Arga mengambil kertas soal dari tangan Pak Saragih, dan kembali melangkahkan kaki ke kursinya di sebelah Argi.
“Eit,” suara Pak Saragih menghentikan langkah Arga.
“Apalagi, Pak?”
“Siapa yang suruh kau duduk?”
“Habis, saya harus ngerjain soal di mana dong, Pak?”
“Situ,” telunjuk Pak Saragih mengarah ke depan papan tulis.
“Hah? Di depan kelas?”
“Iya. Kenapa? Keberatan?”
Arga menunduk kesal. Dia mengambil kursinya dan menyeretnya ke depan kelas.
“Bah, siapa suruh kau bawa-bawa kursi ke depan kelas?”
“Tadi bapak bilang, saya harus mengerjakan soal ulangan di depan kelas?”
“Betul itu. Tapi Bapak tidak bilang kau boleh bawa-bawa kursi ke depan kelas.”
“Jadi?”
“Berdiri!”
“Tapi, Pak...”
“Apa? Keberatan kau?”
Arga menggelengkan kepala.
Di bangkunya Argi cekikikan.
“Huh!” Arga merengus.
Seisi kelas mengulum senyum, menahan tawa melihat tampang kucel Arga.
Menit-menit berlalu tanpa bisa dicegah. Arga baru berhasil mengerjakan beberapa soal saja. Berulang kali dia berusaha menoleh ke arah Argi. Tapi bukannya membantu, saudara kembarnya itu malah menjulurkan lidah meledeknya. Arga keki. Diambilnya spidol di dekat papan tulis, dilemparnya ke arah Argi.
“Aduh!” Argi meringis memegangi kepalanya yang terkena lemparan spidol Arga. Pak Saragih melihat kejadian itu.
“Bah! Bukannya mengerjakan soal, malah bercanda-canda dengan saudara kembar kau! Sudah selesai?!”
“B-belum, Pak...”
Pak Saragih yang selalu memakai baju safari itu geleng-geleng kepala melihat tingkah Arga dan Argi yang mirip anjing sama kucing. Heran, kok bisa ya, mereka berbagi tempat duduk?
Hmm... biar begitu-gitu, kalo sudah urusan ngisengin orang, mereka kompakan banget! Hampir semua penghuni kelasnya—termasuk cicak, nyamuk dan kecoa—pernah menjadi korban keisengan mereka.
Si Toing misalnya. Pemuda kurus yang saban ke sekolah mengendarai vespa merah, warisan engkongnya yang meninggal dunia karena serangan jantung akibat terkejut mendengar suara letusan dari knalpot vespa miliknya waktu dia mau berangkat kerja, pernah dibuat kalang kabut ketika hendak pulang sekolah, mendapati vespa kesayangannya tak berknalpot! Baru keesokan paginya, dia menemukan knalpot vespanya tergantung di tiang bendera sekolahan! Mau tau kerjaan siapa?
“Kembaaaarrrrr siaaaallllaaaannnn...!!!”
Arga dan Argi segera angkat kaki, melarikan diri, begitu melihat Toing berlari-lari ke arah mereka seraya mengacung-acungkan knalpot vespanya ke udara.
“Cabuuuttttttt...!!!”
Suara bel tanda usai pelajaran fisika mengudara. Masih ada dua soal yang belum terisi di lembar jawabannya. Arga mengumpulkan lembar jawabannya di meja Pak Saragih. Wajahnya tak bergairah. Percuma dia begadang semalaman. Semua yang telah dia save di memori otaknya gak mau diopen, ngehang!
“Udah boleh duduk, Pak?”
Pak Saragih tersenyum puas menyaksikan dengkul Arga yang gemetaran karena terlalu lelah berdiri sepanjang jam pelajarannya berlangsung.
“Besok-besok, kalau kau terlambat lagi, kusuruh kau berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah, mau?”
“Wah, gak janji deh, Pak!”
Arga melangkah gontai ke tempat duduknya.

***





Love Messages #2

Oleh De Zha Voe

1 3 4 5 6 7 8 9 10


Argi memandangi kertas print outnya, sekali lagi membaca tuliasan yang tertera di sana. Tadi pagi sebelum dia mesuk ke kelas, dia sempat membuka e-mailnya di ruang redaksi majalah sekolah yang dikelola olehnya. Banyak e-mail yang masuk ke inboxnya. Selain dari anak-anak di sekolahnya, majalah sekolah yang ia kelola juga menerima kiriman naskan dari sekolah-sekolah lain. Dan salah satunya dari seseorang yang mengaku Lelaki Terindah.

To                    : ad_maniez@suka.co.id
From               : lelaki_terindah@tahoo.com  
Date                : Fri, 20 May 2005 14:31:04 -0000
Subject          : LOVE MESSAGE

Dear AD
Persuaan pertama denganmu, meninggalkan jejak-jejak cinta di hatiku. Coba kususuri jalan itu, untuk sampai kepadamu. Masihkah tersisa ruang di hatimu bagi diriku? Aku ingin sekali menempatinya. Menghiasnya dengan bunga-bunga kasih. Meski kutahu itu hanya bayang-bayang semu yang tinggal di ruang-ruang inginku. Tapi apa salahnya menyimpan harapan? Kelak, kau akan tahu siapa aku, dan mungkin kau akan menjauhiku. Atau malah sebaliknya? Ah, yang kuharap begitu. Tak lagi bisa kupungkiri. Aku cinta padamu!

With Love J

Lelaki Terindah

“Apaan, nih?” Arga yang baru kembali dari memberi umpan cacing-cacing di dalam perutnya di kantin sekolah, merebut kertas print out dari tangan Argi. Argi mencoba merebutnya kembali.
“Kembaliin!”
“Sebentar.”
“Nanti robek!”
Arga terus menghindari tangan Argi yang terus berusaha merebut kembali kertasnya sambil matanya membaca isi kalimat-kalimat yang tertulis di atas kertas itu. Pemuda kurus berambut lagam berombak itu mengerutkan keningnya setelah berhasil membaca tuntas semua kalimat di dalam surat itu. Mengulum senyum, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Huahahaha… sejak kapan ade gue jadi romantis abis begini???”
Argi makin sewot. Dia segera merebut kertas itu dari tangan Arga. Tapi…
Prek!
“Yah, robek…”
“Ups…”
“Argaaaaaaaa..!!!”
Arga lekas-lekas melejit meninggalkan saudara kembarnya yang siap menghujaninya dengan jitakkan. Pemandangan akrab yang kerap terjadi di dalam kelas: Arga dan Argi kejar-kejaran saling bertukar jitakan.
***
Cahaya bulan yang keperakan menerobos jendela kamar Argi yang terbuka. Angin bersiut. Sepoi. Di depan meja belajar, di sudut kamar bernuansa biru itu, Argi duduk sambil tangannya sibuk menyusun kembali kertasnya yang terkoyak jadi dua. Surat cinta. Yang dikirimkan oleh Lelaki Terindah ke alamat emailnya.
Ah, siapa ya Lelaki Terindah itu?
Pintu kamar Argi terbuka. Seraut wajah muncul dari balik pintu. Arga. Pemuda yang masih mengenakan baju koko dan sarung itu memamerkan deretan gigi putihnya.
May I come in?”
Argi gak menjawab. Dia sibuk merekatkan suratnya yang koyak. Dia bakan seolah tidak peduli dengan kehadiran saudara kembarnya itu, yang kini asyik senyum-senyum sendiri menyaksikan kesibukan Argi dari balik punggung gadis itu.
“Duh, buat siapa sih tuh surat?”
“Buat gue,” jawab Argi sekenanya, tanpa menolehkan kepala.
“Masa elo nulis surat buat diri sendiri, sih?”
Argi menoleh, menghadap ke arah Arga. Wajahnya hanya beberapa senti dari muka Arga. Gadis itu memandangi wajah saudara kembarnya. Arga mengibas-kibaskan tangannya di depan muka Argi. Gadis kuning langsat itu menepisnya.
“Elo kenapa sih, ngeliatin gue kayak orang nepsong begitu?”
“Iya. Gue emang napsu sama elo!”
“Hah? Jangan macem-macem, Gi! Gue kan sodara kembar lo!”
“Justru karena elo sodara kembar gue makanya gue napsu sama elo.”
“Haram, Gi!”
“Gue napsu mau ngejitak kepala lo!”
Pletak!
“Aduh!” Sebuah jitakan mendarat di kening Arga yang lebar. Arga meringis kesakitan memegangi keningnya. “Elo kok ngejitak jidat gue?! Salah gue apa?”
“Bego!”
“Gue? Bego?”
“Banget!”
“Masa sih, Gi?”
Argi membentangkan kertas merah jambu yang sudah direkatkan kembali di depan mata Aga. “Baca yang bener!”
“D-e-a-r A-D…” eja Arga.
“Tau kan maksudnya?”
“Tau dong! AD yang tercinta, kan?”
“Yap!”
“Tapi, Gi… AD itu siapa, sih?”
Pletak! Sebuah jitakan kembali mendarat di kening Arga.
“Kenapa lagi?”
“Masih bego!”
“Lagi?”
“Iya! AD itu inisial nama gue. Argi Dahlia. Ngarti?”
“Ya, ya, ya...” Arga mengangguk-anggukkan kepala. “Tapi, Gi... gue kok masih gak yakin kalo ada orang yang mau ngirimin surat cinta buat elo...”
“Ala... bilang aja elo ngiri kan?”
“Bukannya ngiri. Lo kan tau, gue juga sering kebanjiran surat dari penggemar-penggemar yang kepengen jadi pacar gue…”
“Uh, ge er amat lo!”
“Faktanya emang begitu, kok.”
“Terus, kenapa lo belom punya pacar sampe sekarang?”
“Males. Buang-buang waktu. Gak perlu banget gitu loh!”
“Ala… bilang aja gak ada yang mau sama elo.”
“Apa perlu gue tunjukin surat-suratnya ke elo?”
“Gak perlu.” Sebenarnya Argi juga tau kalo kembarannya itu lumayan laku di pasaran. Di kelas mereka saja ada tiga biji yang terang-terangan—tanpa rasa malu—menyatakan cintanya kepada cowok kurus itu.
“Eh, Gi...” kata Arga, “elo tau gak siapa yang ngirimin surat cinta itu?”
“Lelaki Terindah!”
“Siapa tuh? Tukang ojek ya?”
“Hah?!?”
Arga meringis. Dia segera meninggalkan kamar Arga sebelum gadis itu berubah jadi Jet Lee.
***
Argi masih tidur pulas saat Arga menyelinap ke dalam kamarnya, dia memutar semua jam di kamar Argi jadi lebih cepat satu jam. Lalu pergi ke kamar mandi, mengambil seember air.
“Beres!” ujar Arga, sebelum beranjak dari depan pintu kamar Argi. Arga cekikikan sendiri, membayangkan tragedi yang bakal menimpa kembarannya.
“Lagi ngapain Mas Arga?” tanya Bik Sumi, pembantu rumah yang badannya mirip buldozer.
“Ssstttt... jangan keras-keras!” Arga melekatkan telunjuknya ke bibirnya. Bik Sumi mengangguk-angguk.
“Nasi gorengnya sudah saya siapin di meja.”
“Yang goreng siapa?”
“Bunda.”
“Sip!” Arga segera bergegas ke ruang makan. Bunda sudah menunggu di sana. Nasi goreng buatan Bunda memang tiada duanya. Arga sayang banget sama Bundanya. Meskipun dia sibuk bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan BUMN, Bunda selalu punya waktu memasak buat anak-anaknya!
Di dalam kamarnya, Argi masih asyik memperdengarkan suara ngoroknya. Semalaman dia mandangin surat cinta yang dikirimkan seseorang ke alamat e-mailnya. Sampai gak inget sama waktu. Tau-tau sudah hampir subuh. Baru Argi memejamkan matanya.
Sendokan terakhir nasi goreng buatan Bunda tuntas dibenam Arga ke dalam mulutnya. Hanya tinggal Bunda saja yang mereka punya. Ayah sudah lama berpulang ke sisi Yang Mahakuasa, karena kecalakaan pesawat.
Arga siap berangkat ke sekolah. Hmm... sudah waktunya, neh! Arga beranjak ke depan pintu kamar Argi. Mengambil handphone, mencari nomor Argi pada phonebooknya, lalu menghubungi kembarannya itu. Tersambung!
Terdengar suara ringtone Hp Argi mengisi ruang suara di kamar bernuansa serba biru itu. Cukup lama juga sebelum akhirnya diangkat.
“Halo!” sapa Argi masih dengan mata terpejam.
Assalamu alaikum!” sapa Arga.
Kening Argi berkerut. Kok kayak suaranya si... Argi membuka matanya. “Arga?! Iseng banget sih lo! Gue masih ngantuk tau!”
“Heh,” kata Arga, “jawab dulu dong salam gue!”
“Iya, iya... wa’alaikumussalam!”
“Gue cuma mau bilang kalo bentar lagi bel masuk bakal dibunyiin. Kalo lo nggak buru-buru mandi sekarang, elo bakalan telat ke sekolah!”
“Hah?!?” Argi melirik jam weker di atas meja belajarnya. Jarum jam menunjuk angka 7 tepat! Argi memutus sambungan telepon. Gegas gadis itu beranjak dari tempat tidurnya, setengah melompat. Menyambar handuk, sebelum ngacir keluar kamarnya. Namun baru saja dia membuka pintu...
Byurrrr!
Ember berisi air yang Arga gantung di atas pintu kamar Argi jatuh persis di atas kepala Argi.
“Nggak usah buru-buru, lagi...” ujar Arga yang berdiri di depannya sambil senyum-senyum, menertawai Argi yang basah kuyup, “baru juga jam enem pagi. He he he...”
“Argaaaaaa!!!”
Cowok kurus itu lekas-lekas angkat kaki sebelum Argi berniat mendaratkan jitakan di jidatnya yang nong-nong. He he he... sukses!
***

Love Messages #3

Oleh De Zha Voe

1 2 4 5 6 7 8 9 10


Sejak lepas jam sekolah tadi, ruang redaksi majalah sekolah SUKA (Suara anaK sekolAh) punyanya SMU Merah Jambu nampak hiruk-pikuk. Ela, Pemred majalah itu seperti kebakaran jenggot. Padahal dia gak punya jenggot! Kerjaannya ngomel-ngomel melulu sejak tadi.
Maklum saja, seharusnya siang itu mereka sudah merapatkan materi yang siap diturunkan untuk edisi bulan ini. Besok sudah harus naik cetak. Tiras majalah mereka terbilang cukup bagus untuk ukuran majalah sekolah, sebab mereka mendistribusikannya ke sekolah-sekolah tetangga. Dan yang paling membuat anak-anak sekolah lain berminat, redaksinya menerima kiriman naskah dari siapa saja, yang penting masih berseragam sekolah, tidak harus dari SMU Merah Jambu.
“Gi! Artikel pensi SMU Cakra minggu lalu kenapa belom ada di meja gue?!” todong Ela.
“Noh!” jawab Argi santai, sambil matanya nggak lepas dari layar komputer. Hanya bibirnya saja yang maju beberapa senti, membentuk garis lurus ke meja Arga.
Ela berkerut kening. “Arga?”
“Iya,” kata Argi, “dia yang ngeliput acara itu. Gue jadi penonton doang.”
Kening Ela kembali berkerut persis kelapa yang baru diparut, melihat Arga asyik goyang-goyang kepala di mejanya. Bukan kenapa-kenapa, dari semua makhluk yang tengah menghuni ruang redaksi, cuma Arga aja yang kelihatan paling santai, padahal mereka tengah dikejar-kejar deadline.
Ela menghampiri meja Arga.
“Ga!”
Arga diam saja.
“Arga!” tegur Ela, setengah membentak.
Arga cuek saja. Dia gak mendengar, karena telinganya tersumbat headphone. Entah apa musik yang sedang menguasai ruang pendengarannya, yang pasti sukses membuat Ela kehilangan pesona kecantikannya, karena dua tanduk yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Hilang sudah kesabaran siswi kelas tiga jurusan bahasa itu. Didekatkan mulutnya ke telinga Arga. Lalu dengan hati-hati dia regangkan headphone yang tengah menyumbat telinga Arga, sebelum berteriak lantang: “ARGAAAAA...!!!”
Arga menghentikan aktifitasnya seketika.
“Apaan sih, La?” kata Arga santai, seolah teriakan Ela barusan sama sekali gak ada arti bagi telinganya.
Padahal, teriakan Ela yang lebih kenceng dari pedagang obat yang biasa mangkal di pinggir-pinggir jalan tadi, mampu membuat Dini yang lagi nulis hasil wawancaranya dengan Leyla Imtichanah, penulis terkenal yang sudah menghasilkan 8 judul buku itu, terlonjak ke udara, sampai walkman di genggaman tangannya terempas ke lantai. Untung kaset hasil wawancara dengan Leyla Imtichanah gak sampai rusak. Tapi walkman-nya...  kayaknya Dini harus beli yang baru lagi, deh.
Malah si Fifi, sekertaris redaksi merangkap bendahara, yang mulanya mau masuk ke ruang redaksi langsung angkat kaki, begitu mendengar teriakan Ela yang gak sehat buat telinga manusia yang masih normal, dari luar pintu.
Fifi memang trauma kalo dengar Ela lagi marah-marah. Dia pernah dimarahin Ela gara-gara lupa membayar honor penulis yang cerpennya dimuat di majalah SUKA, sampai gak napsu makan satu bulan.
Apalagi si Ela kalo lagi marah suka merembet ke mana-mana. Jadi, demi keselamatan dirinya, Fifi lebih memilih menunda memberikan laporan hasil penjualan majalah bulan lalu sampai waktu yang belum direncanakannya.
Tapi si Arga...
“Artikel Pensi!” ulang Ela.
“Pensil?” Arga mengambil pensil dari laci mejanya, dan memberikannya kepada Ela. “Tar kalo udah selesai kembaliin lagi ya.”
“ARGAAAAA...!!!” kembali Ela berteriak.
“Hehehehe...” Arga nyengir-nyengir gombal. Dia memang paling suka menggoda Pemrednya itu.
Arga menyerahkan flashdisknya pada Ela.
Filenya ada di folder ARGA KEREN,” terang Arga.
Ela segera kembali ke mejanya. Meng-copy file ARGA KEREN ke komputernya. Tapi waktu dia membuka folder itu, isinya hanya foto-foto Arga dalam berbagai pose, gak ada artikel pensinya.
“Apaan nih, Ga?!”
Kuping Arga yang sudah kembali tersumbat headphone nggak mendengar suara Ela. Akibatnya, sebuah pulpen mendarat manis di kepalanya yang asyik bergoyang seiring hentakan musik dari program winamp3 di komputernya.
Arga celingukan, mencari-cari darimana pulpen yang mendarat di kepalanya itu berasal. Pandangannya berhenti di meja Ela. Arga mendapati Pemrednya itu tengah mengalami proses mimikri di wajahnya, seperti seekor bunglon yang berubah warna tubuh sesuai dengan emosi dan lingkungannya. Kulit Ela yang putih menjelma kayu bakar yang sudah jadi bara. Seperti lokomotif kereta api, dari kepalanya mengepul asap panas!
“Kenapa?” tanya Arga tanpa rasa berdosa.
Ela gak menjawab pertanyaan itu. Hanya tangan kanannya yang terangkat ke udara, sambil menggenggam gelas minuman yang siap dia lemparkan ke jidat Arga. Kalo sudah begitu, dia nggak berani lagi main-main sama Ela. 
Arga tersenyum kecut. “Hehehe... filenya ada di folder KERJAAN ARGA,” ujarnya memberi tahu.
Tidak berapa lama, seluruh materi yang bakal diturunkan pada edisi majalah SUKA bulan ini terkumpul seluruhnya di meja Ela. Rapat pun segera digelar. Gak terlalu banyak yang dibicarakan, karena waktu sudah tidak memungkinkan. Mereka persis wakil rakyat tempo dulu yang jago nyanyiin lagu: Setuju!
Setelah semuanya oke, mereka menyerahkan  seluruh materi pada Fadil yang kebagian tugas sebagai layouter, sebelum diorder ke percetakan. Untuk kemudian didistribusikan.
Ringtone Hp Arga mengudara, tanda ada SMS yang masuk ke inboxnya. Arga mengobrak-abrik tumpukan kertas di atas mejanya. Tapi tidak juga dia temukan Hp miliknya. Di tasnya juga nggak ada.
“Aduh... di mana sih Hp gue?!”
Tiba-tiba sebuah pesawat kertas mendarat mulus di atas mejanya yang berantakan. Arga memungutnya. Di badan pesawat itu tertulis:

HP LO ADA DI MEJA GUE <ARGI MANIS>

Arga langsung menoleh ke meja Argi, yang sekarang lagi asyik main game buat menghilangkan penat di kepalanya, seusai kejar-kejaran dengan deadline. Arga menghampiri meja kembarannya itu.
“Kalo pinjem Hp ngomong-ngomong, dong!” Arga merengus, “tinggal dikit tuh pulsanya.”
“Siapa yang make pulsa elo?”
“Jadi buat apa elo pinjem Hp gue?”
“Buat...” Argi tampak ragu.
“Mana siniin Hp gue!”
“Tuh...” Argi menunjuk ke bawah mejanya. “gue pake buat ganjel meja.”
“Hah?!?!”
Argi buru-buru membentengi kepalanya dengan keyboard komputernya, bersiap menerima serangan rudal jitakan dari Arga. Tapi rupanya, Arga lagi gak berminat melakukan invasi ke jidat Argi. Dia lebih tertarik dengan isi SMS yang baru aja dikirim ke nomer Hp-nya, sampai keningnya berlipat lima.
“Ah, ini mah puisinya Sapardi Djoko Damono yang judulnya Aku Ingin!” gumam Arga.
“Apaan sih, Ga?” tanya Argi, “Dari siapa?”
Arga melihat nama pengirim di bawah puisi itu. Lalu menyodorkan Hp-nya kepada Argi. “Buat lo!”
“Buat gue?” Argi suprise banget, “kebetulan udah lama gue pengen embat Hp lo, eh... malah dikasih. Makasih ya, Ga!”
“Enak aje lo!”
“Kenapa?”
“Bukan Hp-nya! Tapi SMS-nya!”
“Gue kirain...”
Argi membaca isi pesan yang dikirimkan oleh orang yang sama, yang mengirimkan e-mail berisi surat cinta kepadanya: Lelaki Terindah!

Aq ingn mncintaimu dgn sdrhana
dgn kata yg tak smpat diucpkan kayu
kpd api yg mnjdkannya abu
aq ingn mencintaimu dgn sdrhana
dgn isyrat yg tak smpat disampaikan awn
kpd hjn yg menjdikannya tiada
<Lelaki Terindah>
Sender: +62815693142
Sent: 21 May 2005 14:31:04


“Huaaaa... romantis banget!” jerit Argi setelah membaca SMS dari Lelaki Terindah.
“Romantis apaan!” timpal Arga, “Plagiat gitu! Itu kan puisinya Sapardi Djoko Damono! Masa lo gak tau?!”
“Biarin aja! Yang pentingkan ditujukan buat gue!”
“Tapi... kenapa dikirimnya ke Hp gue ya?” Arga heran.
“Iya juga ya...”
“Mungkin...”
“Ah, kali aja dia salah nomer... Nomer kita kan cuma beda belakangnya doang,” duga Argi. “Elo juga sih beliin nomer gue samaan.”
Yeah, biar dibilang kompak, Gi,” jawab Arga, “kita kan kembaran.”
“Ih, gak sudi kompak sama elo!”