Oleh De Zha Voe
Bruk!
Ups! Argi meringis. Dia tidak sengaja menabrak... Delon! Bukan ding... hanya
mirip saja dengan runner up Indonesian Idol pertama itu. Sampai-sampai ia
menumpahkan air mineral merek Aquya ke baju cowok tinggi berkulit putih
itu
“S-sori... sori?”
Cowok itu mengibas-ngibas pakaiannya yang basah.
Uh, ganteng banget! Sesaat Argi terpaku, memandangi paras tampan di depannya,
sebelum dia tersadar dan mengeluarkan handuk kecil dari dalam tasnya. “Gue
elapin ya?”
“Udah gak pa-pa kok,” cowok itu tersenyum.
“Duh, gue jadi gak enak nih...”
“Kalo gak enak kasih kucing aja,” seloroh cowok yang bagai pinang dibelah
kampak dengan artis pujaan yang namanya dia abadikan untuk ayam jago piaraannya
itu.
Argi tertawa mendengar perkataan Delon... eh, maksudnya cowok yang
ditabraknya itu.
“Eh, elo liat Arga gak?”
“Arga? Makhluk dari mana, tuh?”
“Haha... lo bisa aja. Yang dari majalah SUKA.”
“Yang rambutnya gondrong itu, ya?”
“Iya, betul. Pokoknya yang ancur banget deh orangnya!”
Cowok itu tersenyum. “Tadi gue liat dia di dekat panggung utama.”
“Oh, makasih, ya!” ucap Argi.
“Kalo elo perlu apa-apa ngomong sama panitia aja, ya.”
“Elo...”
“Gue Dava,” katanya memperkenalkan diri, “ketua OSIS SMU Cakra.”
“Oke deh, Dav! Gue Argi. Argi Dahlia lengkapnya.”
Lagi-lagi cowok berparas serupa Delon itu melempar senyum ke arah Argi,
sebelum ia melangkah meninggalkannya sendiri dalam keterpakuan.
Duh, senyumnya... bisik hati Argi. Terpesona. Sebelum kembali celingukan
mencari-cari Arga. Ke mana sih
anak gokil itu?
***
“Argi sialaaaaaaan...!!!” jerit Arga begitu membuka mata dan
menemukan jarum jam telah menyentuh angka 7:15 WIB. Perjalanan ke sekolah
membutuhkan waktu setidaknya setengah jam. Lima belas menit lagi bel masuk
berbunyi. Terlambat!
Hari ini ada ulangan fisika. Semalaman Arga menekuni rumus-rumus dalam buku
pelajaran. Sudah dua kali dia dapat lima. Sampai azan Subuh menggema, Arga baru
merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya yang letih. Lumayan, biar cuma satu jam...
Di dalam kelasnya, Argi tersenyum-senyum sendiri membayangkan saudara
kembarnya yang ketika dia meninggalkan rumah tadi belum juga membuka matanya.
Sebelum Arga tidur, sebenarnya dia sempat mengirimkan pesan ke ponsel Argi,
karena pintu kamar anak itu sudah dikunci, waktu dia mau minta dibangunkan.
Makanya dia mengirimkan SMS kepada Argi meski kamar mereka bersebelahan. Begini
bunyi SMS yang Arga kirimkan sebelum matanya terpejam Subuh tadi:
TLG BANGUNIN GW 1/2 6 TEPAT! :-)Sent to: Argi 081802901697
Dan cara itu pula yang dipakai oleh Argi untuk membangunkan Arga, sebelum
dia pergi meninggalkan rumah pagi tadi. Ia me-reply SMS Arga.
ARGA BANGUN! UDH 1/2 6 LWT DIKIT! ;-pSent to: Arga 081802901679
Padahal pintu kamar Arga gak terkunci!
Suara bel berbunyi. Pak Saragih masuk ke dalam kelas membagi-bagikan kertas
ulangan fisika.
Wajah Arga menyembul dari balik pintu. Napasnya tersengal, seperti habis
maraton 10 km. Argi cekikikan melihat tampang kucel saudara kembarnya.
“Permisi, Pak...”
“Silakan masuk!” Suara Pak Saragi serak-serak becek.
Arga melongo. Tumben amat,
pikirnya. Biasanya Pak Saragih akan mengatakan, “Silakan keluar!” kepada siapa
pun siswa yang datang terlambat saat jam pelajarannya. Gak peduli walau
keterlambatannya hanya terjadi 1 menit saja sebelum guru killer itu masuk ke kelas.
“Makasih, Pak.” Arga mengumbar senyum. Sok ramah. Melangkahkan kaki ke
kursinya di sebelah Argi.
“Bah,” ucap Pak Saragih, “siapa pula yang suruh kau duduk?!”
“Lho,” Arga bingung, “bukannya tadi Bapak bilang...”
“Aku bilang masuk, bukan duduk! Kuping kau perlu dikorek sama pacul,
rupanya!”
Kelas bergemuruh tawa.
“Diam!” bentak lelaki kelahiran Medan itu. Kelas kembali hening.
Tinggal Arga yang berdiri dengan lutut gemetar.
“Kemari kau!”
Arga menyeret langkah, datang mendekat pada Pak Saragih.
“Kenapa kau datang terlambat?”
“A-anu... pak...”
“Macet?” serobot Pak Saragih sebelum Arga sempat menyelesaikan kalimatnya,
“Bah! Tiap hari kota Depok selalu macet!”
“Lho, saya kan gak bilang macet, Pak?”
“Kalau bukan macet, apalagi alasan kau?”
“Semalam saya belajar sampai Subuh untuk menghadapi ulangan fisika ini.
Jadi... saya bangun kesiangan gara-gara Argi gak mau bangunin saya, Pak.”
“Enak aja!” protes Argi dari bangkunya, “gue kan udh kirim SMS buat
ngebangunin elo! Elo juga minta banguninnya lewat SMS.”
“Soalnya waktu gue mau nitip pesen langsung, pintu kamar lo dikunci. Lha,
kalo pintu kamar gue kan ngablak, kagak dikunci! Kenapa juga elo bangunin gue
lewat SMS?!”
“Kok elo nyalahin gue? Yang suruh elo begadang sampe Subuh siapa?”
“Diaaaammmm! Siapa suruh kalian bertengkar?!”
Kedua saudara kembar itu bungkam.
Argi kembali menekuni kertas ulangannya.
“Ya, sudah,” kata Pak Saragih kemudian, “ini,” menyerahkan kertas soal
kepada Arga.
Arga mengambil kertas soal dari tangan Pak Saragih, dan kembali
melangkahkan kaki ke kursinya di sebelah Argi.
“Eit,” suara Pak Saragih menghentikan langkah Arga.
“Apalagi, Pak?”
“Siapa yang suruh kau duduk?”
“Habis, saya harus ngerjain soal di mana dong, Pak?”
“Situ,” telunjuk Pak Saragih mengarah ke depan papan tulis.
“Hah? Di depan kelas?”
“Iya. Kenapa? Keberatan?”
Arga menunduk kesal. Dia mengambil kursinya dan menyeretnya ke depan kelas.
“Bah, siapa suruh kau bawa-bawa kursi ke depan kelas?”
“Tadi bapak bilang, saya harus mengerjakan soal ulangan di depan kelas?”
“Betul itu. Tapi Bapak tidak bilang kau boleh bawa-bawa kursi ke depan
kelas.”
“Jadi?”
“Berdiri!”
“Tapi, Pak...”
“Apa? Keberatan kau?”
Arga menggelengkan kepala.
Di bangkunya Argi cekikikan.
“Huh!” Arga merengus.
Seisi kelas mengulum senyum, menahan tawa melihat tampang kucel Arga.
Menit-menit berlalu tanpa bisa dicegah. Arga baru berhasil mengerjakan
beberapa soal saja. Berulang kali dia berusaha menoleh ke arah Argi. Tapi
bukannya membantu, saudara kembarnya itu malah menjulurkan lidah meledeknya.
Arga keki. Diambilnya spidol di dekat papan tulis, dilemparnya ke arah Argi.
“Aduh!” Argi meringis memegangi kepalanya yang terkena lemparan spidol
Arga. Pak Saragih melihat kejadian itu.
“Bah! Bukannya mengerjakan soal, malah bercanda-canda dengan saudara kembar
kau! Sudah selesai?!”
“B-belum, Pak...”
Pak Saragih yang selalu memakai baju safari itu geleng-geleng kepala
melihat tingkah Arga dan Argi yang mirip anjing sama kucing. Heran, kok bisa
ya, mereka berbagi tempat duduk?
Hmm... biar begitu-gitu, kalo sudah urusan ngisengin orang,
mereka kompakan banget! Hampir semua penghuni kelasnya—termasuk cicak, nyamuk
dan kecoa—pernah menjadi korban keisengan mereka.
Si Toing misalnya. Pemuda kurus yang saban ke sekolah mengendarai vespa
merah, warisan engkongnya yang meninggal dunia karena serangan jantung akibat
terkejut mendengar suara letusan dari knalpot vespa miliknya waktu dia mau
berangkat kerja, pernah dibuat kalang kabut ketika hendak pulang sekolah,
mendapati vespa kesayangannya tak berknalpot! Baru keesokan paginya, dia
menemukan knalpot vespanya tergantung di tiang bendera sekolahan! Mau tau
kerjaan siapa?
“Kembaaaarrrrr siaaaallllaaaannnn...!!!”
Arga dan Argi segera angkat kaki, melarikan diri, begitu melihat Toing
berlari-lari ke arah mereka seraya mengacung-acungkan knalpot vespanya ke
udara.
“Cabuuuttttttt...!!!”
Suara bel tanda usai pelajaran fisika mengudara. Masih ada dua soal yang
belum terisi di lembar jawabannya. Arga mengumpulkan lembar jawabannya di meja
Pak Saragih. Wajahnya tak bergairah. Percuma dia begadang semalaman. Semua yang
telah dia save di memori otaknya gak mau diopen,
ngehang!
“Udah boleh duduk, Pak?”
Pak Saragih tersenyum puas menyaksikan dengkul Arga yang gemetaran karena
terlalu lelah berdiri sepanjang jam pelajarannya berlangsung.
“Besok-besok, kalau kau terlambat lagi, kusuruh kau berdiri di tengah-tengah
lapangan sekolah, mau?”
“Wah, gak janji deh, Pak!”
Arga melangkah gontai ke tempat duduknya.
***